EPICNEWS LUMAJANG – Tak ada tiupan terompet. Apalagi, kembang api yang menyala. Hanya tampak, bulan dan bintang yang terang. Terlihat jelas. Karena pemilik mata, ada di hamparan luas, yang dijadikan tempat penampungan bencana. Sesekali, terlihat percikan di puncak Semeru, sebagai pengganti kembang api di tahun baru.
Relawan medis Rumah Sakit Bina Sehat (RSBS) Jember, sudah beberapa hari menetap sementara di Desa Supiturang, Pronojiwo, Lumajang. Pemilik Dusun Curah Kobokan. Lokasi pertama yang diterjang lahar panas, erupsi Gunung Semeru. Tanah bencana. Banyak nyawa melayang di sana. Korban luka mencapai ratusan. Seluruh warga terdampak. Kampung terisolir. Hingga tahun baru ini, mereka belum pulih.
Korban hilang masih dicari. Luka masih sakit. Trauma belum sembuh. Kampungnya pun terisolir. Praktis, perekonomian lumpuh. Sedangkan tenaga medis, mulai kelelahan. Relawan RSBS Jember, hadir dengan tenaga baru, usai membantu di posko kecamatan sebelah : Candipuro.
Datang dari Jember ke Supiturang, harus memutar. Jembatan perak penghubung Candipuro – Pronojiwo, ambruk diterjang ganasnya air panas erupsi. Mereka, para relawan medis rumah sakit swasta milik dr. Faida, harus memutar melewati Lumajang, ke arah Probolinggo, Pasuruan, Malang, hingga sampai di kecamatan pucuk selatan Lumajang.
Epic Media Indonesia, sempat memawancarai dr. Faida – Owner RSBS yang juga mantan Bupati Jember. Dia hadir di malam tahun baru. Bukan datang untuk berpesta. Namun hadir, menjadi relawan bencana. Mengobati luka tubuh korban, sekaligus menghapus duka di tanah bencana.
“Disini sejak jembatan putus minim pelayanan. Tidak ada dokter praktek. Hanya ada 1 puskesmas yang lokasinya jauh dan hanya satu orang bidan. Relawan minim. Malam ini tinggal 2 mahasiswa keperawatan semester 5,” ungkap dokter Faida, pemilik gelar magister manajemen rumah sakit. Padahal katanya, sehari yang berobat hampir seratus orang. Belum lagi yang home visite.
Saking terisolirnya ke kotanya sendiri, jika ada pasien cukup parah, maka ngerujuknya bukan ke RS Haryoto Lumajang. Melaikan harus numpang perawatan ke rumah sakit yang ada di Malang.
Faida, berkeliling ke beberapa rumah aman milik warga. Mereka di sana, tak berani tidur di dalam rumahnya. Memilih di teras. Merasa, Semeru belum bisa bersahabat. Dianggap masih sakit. Batuk. Muntah, keluar percikan api. Ya, seperti di malam tahun baru. Percikannya, menggantikan kembang api.
Tidur di teras malam hari, tentu kurang sehat. Dinginnya cuaca di lereng gunung, terasa sampai ke tulang. Bikin meriang. Tapi mereka menganggap lebih aman. Menyebutnya mitigasi. Tradisional. Apa adanya. Tapi patut dihargai. Karena menghapus trauma, tak semudah menghapus cat warna, di rambut.
Saat ditanya, kenapa relawan RSBS Jember pindah posko bencana?. Sederhana jawabnya. Disesuaikan dengan kebutuhan. Supiturang, bisa diplesetkan Sepiorang. Sepi relawan.Tak seperti di Sumberwuluh, Candipuro. Relawan dan bantuan masyarakat, terus “nyumber” : berdatangan. Karena akses lalulintasnya, relatif mudah. Dari Lumajang kota, bisa langsung tanpa harus memutar lewat Malang.
Kata Faida, tahu di sana butuh bantuan tenaga medis, tak lain informasi dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Lumajang. Dia mengapresiasi kepiawaian berkoordinasi. “Dinkesnya bagus koordinasinya. Ketika posko kosong, petugas nelepon RSBS minta bantuan. Jadi kita enak membawa diri. Tahu tanggal yang kosong, seperti natal dan tahun baru,” bebernya.
Faida dan relawan RS Bina Sehat (RSBS), mengaku bersyukur tuhan menuntunnya ke Desa Supiturang. Tanah bencana dengan sejuta duka. Setidaknya, mereka berkesempatan berkontemplasi diri. Tentang kehidupan yang menghidupi. Sekaligus bermunajat, doa terbaik di tahun 2022. (ref)