Pernyataan Menag Jadi Polemik, Apa sebenarnya Isi Surat Edaran Menteri Agama?

Ketua Umum Ikatan Dosen Tetap Non PNS Republik Indonesia Dr. Moh. Nor Afandi,

EPICMEDIAINDONESIA JEMBER – Polemik pernyataan Menteri Agama RI tentang pengeras suara adzan di masjid dan Musalla masih belum usai. Berbagai pihak juga angkat bicara agar tidak terjadi polemik berkepanjangan.

Namun apa sebenarnya isi surat edaran yang telah diterbitkan oleh Menteri Agama RI pada 18 Februari 2022 tentang Pengeras Suara di Masjid dan Musalla tersebut

Menurut Ketua Umum Ikatan Dosen Tetap Non PNS Republik Indonesia Dr. Moh. Nor Afandi, M.Pd.I Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama telah menerbitkan surat edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musalla. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musalla.

“Penggunaan pengeras suara di masjid dan musalla adalah kebutuhan dan kepentingan bagi umat Islam. Sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat,” ujarnya. Namun di sisi lain, kata dia, masyarakat Indonesia juga beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial melalui pedoman.

“Surat edaran ini diterbitkan sebagai upaya meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat, jangan dipahami sepihak atau sepotong-sepotong. “Sehingga maksud dan tujuan kurang mengena bahkan melenceng pada akhirnya” ujar Afandi yang juga dosen di UIN KHAS Jember, Jum’at (24/02/2022).

Ditambahkan, penggunaan pengeras suara sudah diatur sebelumnya oleh Kementerian Agama pada Masa Orde Baru melalui Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla. Surat Edaran yang diterbitkan pada 18 Februari 2022 merupakan pembaharuan dari aturan Tahun 1978

Namun, kata Afandi, dalam pelaksanaannya perlu diatur agar berdampak baik bagi masyarakat. Sehingga jamaah bisa mendengar syiar tapi tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain (mafsadah).

“Karenanya, perlu aturan yang disepakati sebagai pedoman bersama, khususnya terkait penggunaan pengeras suara di tempat ibadah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menjamin ketertiban serta mencegah mafsadah yang ditimbulkan,” ungkap Kepala Pusat Data dan Informasi UIN KHAS Jember.

“Saya sepakat adanya pembatasan yang bijaksana, agar saling harmoni dan diterapkan dengan kearifan lokal,” Sambung Afandi.

Afandi berharap, semua pihak untuk tidak memaknai bahkan memahami surat edaran Menteri Agama tersebut dengan cara sepihak bahkan sepotong-potong yang pada akhirnya menimbulkan salah maksud.

“Saya masih belum yakin Menteri Agama (Gus Men) selaku umat muslim yang taat menyamakan suara adzan dengan suara anjing. Hal itu menginformasikan sesungguhnya kita harus saling menghormati antara satu dengan yang lain,” ujarnya

Kalau hanya dipahami sepotong-sepotong, kata dia, tidak hanya ucapan Menteri Agama, dalam surah al-ma’un misalnya yang dipahami hanya pada ayat 4 “’fawailul lil mushollin’

“Celakalah orang yang sholat, jadi akhirnya celaka orang yang sholat tetapi maksudnya bukan begitu dilanjutkan “alladzina hum sholatihim” yaitu yang celaka adalah mereka yang melalaikan sholatnya, ujar Sekjend Barikade GusDur Jember ini.

Maka dari itulah, kata Afandi, semua pihak memahami segala sesuatunya dengan lengkap, komplit, dan komperhensif sehingga terjalin keharmonisan ketentraman dan saling menghargai

“Dan juga yang penting adalah saling husnudzon dan jangan memberikan pintu masuk saling menghakimi pihak-pihak yang belum dipahami secara jelas jika perlu bisa tabayyun,” harapan Afandi. (naw)

Latest articles

spot_imgspot_img

Related articles

spot_imgspot_img